Kamis, 18 April 2013

Praktikum Ekologi Hewan



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Ekologi berasal dari bahasa Yunani; Oikos = rumah , Logos = ilmu. Odum (1963), Ekologi diartikan sebagai totalitas atau pola hubungan antara makhluk dengan lingkungannya. Secara umum Ekologi sebagai salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari interaksi atau hubungan pengaruh mempengaruhi dan saling ketergantungan antara organisme dengan lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan makhluk hidup itu. Lingkungan tersebut artinya segala sesuatu yang ada di sekitar makhluk hidup yaitu lingkungan biotik maupun abiotik.
Hal-hal yang dihadapi dalam ekologi sebagai suatu ilmu adalah organisme, kehadirannya dan tingkat kelimpahannya di suatu tempat serta faktor-faktor dan proses-proses penyebabnya. Dengan demikian, definisi-definisi tersebut jika dihubungkan dengan ekologi hewan dapat disimpulkan bahwa Ekologi Hewan adalah suatu cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi-interaksi antara hewan dengan lingkungan biotik dan abiotik secara langsung maupun tidak langsung meliputi sebaran (distribusi) maupun tingkat kelimpahan hewan tersebut.
Sasaran utama ekologi hewan adalah pemahaman mengenai aspek-aspek dasar yang melandasi kinerja hewan-hewan sebagai individu, populasi, komunitas dan ekosistem yang di tempatinya, meliputi pengenalan pola proses interaksi serta faktor-faktor penting yang menyebabkan keberhasilan maupun ketidakberhasilan organisme-organisme dan ekosistem-ekosistem itu dalam mempertahankan keberadaannya. Berbagai faktor dan proses ini merupakan informasi yang dapat dijadikan dasar dalam menyusun permodelan, peramalan dan penerapannya bagi kepentingan manusia, seperti; habitat, distribusi dan kelimpahannya, makanannya, perilaku (behavior) dan lain-lain.
Setelah mempelajari dan memahami hal-hal tersebut, maka pengetahuan ini dapat kita manfaatkan untuk misalnya, memprediksi kelimpahannya dan menganalisis keadaannya serta peranannya dalam ekosistem, menjaga kelestariannya serta kegiatan lainnya yang menyangkut keberadaan hewan tersebut. Sebagai contoh, kita mempelajari salah satu jenis hewan mulai dari habitatnya di alam, distribusi dan kelimpahannya, makanannya, prilakunya, dan lain-lain. Setelah semua dipahami dengan pengamatan dan penelitian yang cermat dan teliti, maka pengetahuan itu dapat kita manfaatkan misalnya dalam menjaga kelestariannya di alam dengan menjaga keutuhan lingkungan, habitat alaminya, memprediksi kelimpahan populasinya kelak, menganalisis perannya dalam ekosistem, membudidayakannya serta kegiatan lainnya dengan mengoptimalkan kondisi lingkungannya menyerupai habitat aslinya.
Adapun ruang lingkup ekologi hewan dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu; Synekologi dan Autekologi. Synekologi adalah materi bahasan dalam kajian atau penelitiannya ialah komunitas dengan berbagai interaksi antar populasi yang terjadi dalam komunitas tersebut. Contohnya; mempelajari atau meneliti tentang distribusi dan kelimpahan jenis ikan tertentu di daerah pasang surut. Autekologi adalah kajian atau penelitian tentang species, yaitu mengenai aspek-aspek ekologi dari individu-individu atau populasi suatu species hewan. Contohnya adalah meneliti atau mempelajari tentang seluk beluk kehidupan lalat buah (Drosophila sp.), mulai dari habitat, makanan, fekunditas, reproduksi, perilaku, respond dan lain-lain.
Menurut Ibkar-Kramadibrata (1992) dan Sucipta (1993), secara garis besar pokok bahasan dalam ekologi hewan mencakup hal berikut ini:
1.        Masalah distribusi dan kelimpahan populasi hewan secara lokal dan regional, mulai tingkat relung ekologi, mikrohabitat dan habitat, komunitas sampai biogeografi atau penyebaran hewan di muka bumi.
2.        Masalah pengaturan fisiologis, respon serta adaptasi struktural maupun perilaku terhadap perubahan lingkungan.
3.        Perilaku dan aktivitas hewan dalam habitatnya.
4.        Perubahan-perubahan secara berkala (harian, musiman, tahunan dsb) dari kehadiran, aktivitas dan kelimpahan populasi hewan.
5.        Dinamika populasi dan komunitas serta pola interaksi-interaksi hewan dalam populasi dan komunitas.
6.        Pemisahan-pemisahan relung ekologi, spesies dan ekologi evolusioner.
7.        Masalah produktivitas sekunder dan ekoenergetika.
8.        Ekologi sistem dan permodelan.
Dengan demikian ruang lingkup Ekologi Hewan meliputi obyek kajian individu/organisme, populasi, komunitas sampai ekosistem tentang distribusi dan kelimpahan, adaptasi dan perilaku, habitat dan relung, produktivitas sekunder, sistem dan permodelan ekologi.
B.       Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis memperoleh hasil yang diinginkan, maka  penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah:
1.        Jelaskan apa yang dimaksud dengan ekosistem rawa?
2.        Jelaskan faktor biotik dan abiotik yang terdapat di dalam ekosistem rawa?
3.        Jelaskan karakteristik ikan tempalo (cupang) yang ada pada ekosistem rawa?
4.        Jelaskan jumlah kelimpahan ikan tempalo (cupang) di dalam ekosistem rawa?

C.      Tujuan Praktikum
Tujuan dari diadakannya praktikum ini adalag sebagai berikut:
1.        Untuk memenuhi tugas Mata kuliah Ekologi Hewan.
2.        Untuk menambah pengetahuan tentang Ekosistem Rawa.
3.        Untuk mengetahui Kelimpahan spesies ikan tempalo (cupang) didalam ekosistem rawa.
4.        Agar dapat menjadi referensi bagi pembaca.











BAB II
LANDASAN TEORI

Ekosistem Rawa
Rawa dalam bahasa inggris disebut Wetland atau lahan basah, yaitu adanya air di dekat, atau di sepanjang permukaan lahan yang mampu mendukung tumbuhan air atau vegetasi hidrofit nuntuk hidup natau lahan yang mengindikasikan kondisi basah. Agen Perlindungan Lingkungan/Environmental Protection Agency (EPA) tahun 1987 bersama dengan Corps Engineers Wetlands Delineation Manual menyatakan rawa: “Lahan yang dibanjiri atau yang dipenuhi oleh air tanah dalam jangka waktu lama, dan dalam keadaan normal sungguh mendukung keberadaan tumbuhan yang umumnya hidup di lahan basah”. Terlepas dari karakteristik lahan basah yang penting ini, fungsinya sangat bervariasi. Bagian ini akan menguraikan fungsi dasar lahan basah. Fungsi lahan basah tergantung pada banyaknya variabel (termasuk tipenya, ukuran, dan pengaruh fisik/alami dari manusia) dan peluang ( termasuk lokasi rawa di daratan dan di sekitar lahan yang dimanfaatkan). Lahan basah merupakan ekosistem yang sangat dinamis.
Kata lebak diambil dari kosakata bahasa Jawa yang berarti lembah atau tanah rendah. Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun, minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton, sedangkan jika kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar disebut rawa pedalaman (Noor, M. 2007).
Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak dangkal dapat mencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai lahan kering (upland). Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm). Bulan basah jatuh pada bulan Oktober/November sampai Maret/April, sedangkan bulan kering jatuh antara bulan Juli sampai September (Noor, M. 2007). Rawa lebak dibedakan dengan rawa pasang surut karena mempunyai bentuk fisiografi (landform), penyebaran, dan sifat serta watak yang berbeda. Mempunyai topografi berupa cekungan dan merupakan dataran banjir dengan masa genangan lebih panjang. Dalam konteks yang lebih luas, lahan rawa lebak juga sering dikelompokkan sebagai Wetland, Lowland, Peatland, Inland, Deepwater Land.

Pembagian Lahan Rawa
Lahan rawa lebak mempunyai ciri yang sangat khas, pada musim hujan terjadi genangan air yang melimpah dalam variasi kurun waktu yang cukup lama. Genangan air dapat kurang dari satu bulan sampai enam bulan atau lebih, dengan ketinggian genangan 50 cm–100 cm. Air yang menggenang tersebut bukan merupakan limpasan air pasang, tetapi berasal dari limpasan air permukaan yang terakumulasi di wilayah tersebut karena topografinya yang lebih rendah dan drainasinya jelek. Kondisi genangan air sangat dipengaruhi oleh curah hujan, baik di daerah tersebut maupun wilayah sekitarnya serta daerah hulu (Ismail et al., 1993: dalam Noor, M. 2007).
1.        Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi menjadi dua tipologi, yaitu:
a.    Rawa lebak dataran tinggi, banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa
b.    Rawa lebak dataran rendah, sebagian besar tersebar di Kalimantan.
2.        Berdasarkan ketinggian dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dapat dibagi dalam tiga tipologi, yaitu:
a.    Lebak dangkal adalah wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25-50 cm dengan lama genangan minimal 3 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi nisbi lebih tinggi dan merupakan wilayah paling dekat dengan tanggul.
b.    Lebak tengahan ialah wilayah yang mempunyai tinggi genangan 50-100 cm dengan lama genangan minimal 3-6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi lebih rendah daripada lebak dangkal dan merupakan.
c.    Lebak dalam ialah wilayah yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm dengan lama genangan minimal > 6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi

Sifat-sifat fisik tanah di lahan rawa
Secara teoritis, setiap banjir, karena arus banjir masih kuat, tanggul sungai merupakan tempat pengendapan bahan-bahan terkasar (pasir halus sampai pasir sedang). Makin jauh dari sungai, dengan semakin lemahnya daya angkut air, terjadi pengendapan bahan-bahan lebih halus, yaitu debu dan liat. Karena adanya sortasi air dan semakin sedikitnya bahan-bahan yang diendapkan semakin jauh dari sungai, maka tanggul sungai adalah tempat yang paling tinggi letaknya, dan tanah berangsur-angsur menurun ke dataran rawa belakang. Dalam kenyataanya di lapangan, acapkali perbedaan ketinggian antara keduanya tidak selalu nyata, walaupun hasil pengukuran ketinggian antara keduanya memang menunjukkan penurunan yang amat berangsur ke arah dataran rawa belakang. Demikian pula, tekstur tanah di wilayah tanggul sungai tidak selalu berpasir, sebab komposisi fraksi dari lumpur yang diendapkan setiap tahun tidak selalu kasar sifatnya (Subagyo, 2006).












BAB III
METODE PRAKTIKUM


A.      Waktu dan Tempat
Praktikum dilaksanakan selama satu minggu yaitu pada tanggal 25 Maret 2013 sampai dengan 31 Maret 2013, yang berlokasi di kawasan Jakabaring. Alasan kenapa dipilihnya kawasan Jakabaring, karena kawasan Jakabaring sebagian besar merupakan daerah rawa dan masih banyak yang belum tersentuh pembangunan atau dengan kata lain masih asri.

Gambar 1. Peta Lokasi Praktikum Ekologi Hewan (Google Earth, 2013)

Pengamatan dilakukan terhadap empat titik pengamatan, setiap titik pengamatan disesuaikan pada luas lokasi praktikum.
Titik Pengamtan IV
 
Titik Pengamtan III
 
Titik Pengamtan II
 
Titik Pengamtan I
 
Gambar 2. Titik Pengamatan pada Praktikum Ekologi Hewan (Dokumen pribadi, 2013)


B.       Alat dan Bahan
Praktikum Ekologi Hewan ini menggunakan alat dan bahan sebagai berikut:
No
Nama Alat dan Bahan
Gambar

Jaring ikan

Pisau

Penggaris

Termometer

Kertas Lakmus

Spidol

Kertas Karton Putih

Lakban

C.      Prosedur Praktikum
Praktikum ekologi hewan dilaksanakan dengan mangacu pada prosedur-prosedur seperti yang dijalskan di bawah ini:
1.        Tahap persiapan
Pada tahap ini dilakukan persiapan terlebih dahulu sebelum akan dilakukan praktikum ekologi hewan, dimana alat dan bahan yang diperlukan dalam praktikum ini dikumpulkan. Setelah itu tahap pencarian lokasi yang akan digunakan sebagai lokasi praktikum.
2.        Tahap pelaksanaan
Setelah pada tahap persiapan telah ditentukan lokasi praktikum, maka pada tahap ini akan dilaksanakan kegiatan praktikum tersebut. Penentuan titik pengamatan disesuaikan pada luas lokasi, tiap titik pengamatan diberi tanda agar dalam pengamatan dapat lebih teratur. Pengamatan dilakukan pada empat titik pengamatan, dimana sampel diambil dengan cara jaring ikan tersebut didorong perlahan secara horizontal. Sampel yang didapat, diambil dokumentasinya dan dicek ukurannya. Suhu lokasi dicek dengan menggunakan termometer, sedangkan pH air dicek dengan kertas lakmus. Praktikum dilaksanakan selama satu minggu, rantang waktu pengamatan yaitu pagi, siang, sore setiap hari selama satu minggu.
3.        Tahap pembahasan
Semua data yang didapat, diolah dan dilaporkan dalam bentuk laporan praktikum.












BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.      Hasil Pengamatan
Dari pengamatan yang telah dilakukan selama satu minggu yaitu mulai tanggal 25 Maret 2013 sampai dengan 31 Maret 2013, didapatkan data sebagai berikut:

Tabel 1. Suhu air di daerah rawa Jakabaring (°C)
Hari/Tanggal
Titik
 Pengamtan I
Titik
Pengamtan II
Titik
Pengamtan III
Titik
Pengamtan IV
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Senin,
25 Maret 2013
29
32
32
31
29
34
33
32
30
34
32
32
29
34
33
32
Selasa,
26 Maret 2013
28
30
33
31
29
33
33
31
29
33
32
31
30
35
32
32
Rabu,
27 Maret 2013
29
34
33
32
28
35
32
31
30
34
31
31
29
34
32
31
Kamis,
28 Maret 2013
29
35
32
32
29
34
31
31
29
35
31
31
29
34
31
31
Jumat,
29 Maret 2013
29
31
30
30
29
34
30
31
29
33
31
31
30
35
32
32
Sabtu,
30 Maret 2013
28
32
31
30
29
33
32
31
29
35
33
32
29
35
33
32
Minggu,
31 Maret 2013
29
35
30
31
29
32
30
30
29
34
32
31
29
35
32
32
Keterangan: *) Pg = Pagi, Si = Siang, Sr = Sore

Grafik 1. Pengamatan Suhu Air pada Setiap Titik Pengamatan
Pembahasan Tabel 1:
Data pada Tabel 1. Menunjukkan adanya perbedaan suhu air antara titik pengamatan I, II, III, dan IV. Hal ini disebabkan oleh intensitas cahaya matahari terhadap lokasi pada setiap titik pengamtan, selain dari itu kedalaman dari lokasi pada setiap titik juga mempengaruhi suhu air. Jika pada lokasi tersebut sedikit dalam maka suhu airnya akan lebih rendah dari lokasi yang tidak terlalu dalam.

Tabel 2. Suhu ruang di daerah rawa Jakabaring (°C)
Hari/Tanggal
Titik
 Pengamtan I
Titik
Pengamtan II
Titik
Pengamtan III
Titik
Pengamtan IV
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Senin,
25 Maret 2013
29
33
33
31
30
35
34
33
31
35
33
32
30
35
34
32
Selasa,
26 Maret 2013
29
31
34
31
30
33
34
32
30
34
33
32
31
36
33
32
Rabu,
27 Maret 2013
30
35
34
33
29
36
33
32
31
35
32
32
30
35
33
32
Kamis,
28 Maret 2013
30
36
33
33
30
35
32
32
30
36
32
32
30
35
32
32
Jumat,
29 Maret 2013
30
32
31
31
30
35
31
32
30
34
32
32
31
36
33
32
Sabtu,
30 Maret 2013
29
33
32
31
30
34
33
32
30
36
34
32
30
36
34
33
Minggu,
31 Maret 2013
30
36
31
32
30
33
31
31
30
35
33
31
30
36
33
32
Keterangan: *) Pg = Pagi, Si = Siang, Sr = Sore

Grafik 2. Pengamatan Suhu Ruang pada Setiap Titik Pengamatan
Pembahasan Tabel 2:
Dari tabel 2. Menunjukkan adanya perbedaan antara titik pengamatan satu dengan yang lain, suhu ruang akan berbeda jika intensitas cahaya matahari pada lokasi tersebut berbeda. Pada titik pengamatan I dan II intensitas cahaya matahari sedikit kurang, hal ini disebabkan oleh banyak terdapat tumbuhan-tumbuhan yang menghalangi cahaya manembus permukaan air.

Tabel 3. pH Air di daerah rawa Jakabaring
Hari/Tanggal
Titik
 Pengamtan I
Titik
Pengamtan II
Titik
Pengamtan III
Titik
Pengamtan IV
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Senin,
25 Maret 2013
5
5
5
5
6
6
6
6
5
5
5
5
5
5
5
5
Selasa,
26 Maret 2013
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Rabu,
27 Maret 2013
5
5
5
5
6
6
6
6
5
5
5
5
6
6
6
6
Kamis,
28 Maret 2013
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Jumat,
29 Maret 2013
5
5
5
5
6
6
6
6
5
5
5
5
5
5
5
5
Sabtu,
30 Maret 2013
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Minggu,
31 Maret 2013
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Keterangan: *) Pg = Pagi, Si = Siang, Sr = Sore

Grafik 3. Pengamatan pH Air pada Setiap Titik Pengamatan
Pembahasan Tabel 3:
Pada tabel 3. Terlihat perbedaan pH pada setiap titik pengamatan, perbedaan ini dikarenakan faktor perbedaan kedalaman titik pengamatan satu dengan titik pengamatan lainnya. Perbedaan pH juga berdampak pada kelimpahan organism pada setiap titik pengamatan.
Pada praktikum ini mengkhususkan pengamatan terhadap kelimpahan Ikan Tempalo (cupang) yang terdapat di daerah rawa Jakabaring, dimana didapat data sebagai berikut:
Tabel 4. Kelimpahan Ikan Tempalo (Cupang) di daerah rawa Jakabaring
Hari/Tanggal
Titik
 Pengamtan I
Titik
Pengamtan II
Titik
Pengamtan III
Titik
Pengamtan IV
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Pg
Si
Sr
R
Senin,
25 Maret 2013
1
2
2
2
2
2
2
2
3
4
3
3
3
5
3
4
Selasa,
26 Maret 2013
1
3
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
5
2
3
3
Rabu,
27 Maret 2013
1
3
2
2
3
3
3
3
3
4
3
3
3
4
4
4
Kamis,
28 Maret 2013
1
1
2
1
2
4
3
3
2
1
1
1
2
4
3
3
Jumat,
29 Maret 2013
1
1
2
1
2
2
2
2
2
4
2
3
3
4
3
3
Sabtu,
30 Maret 2013
2
1
2
2
2
1
1
1
2
2
1
2
4
4
5
4
Minggu,
31 Maret 2013
1
1
2
1
2
2
1
2
2
2
2
2
3
2
3
3
Keterangan: *) Pg = Pagi, Si = Siang, Sr = Sore
Grafik 4. Pengamatan Kelimpahan Ikan Tempalo (Cupang)
B.       Pembahasan
Pada pengamatan yang dilakukan di daerah rawa Jakabaring, dimana mengkhususkan pengamtan terhadap kelimpahan Ikan Tempalo (Cupang). Setelah dilakukan pengamtan selama satu minggu, dimana pengamatan dilakukan pada empat titik pemgamatan setiap pagi, siang, dan sore setiap hari didapatkan spesies Ikan Tempalo yang banyak terdapat yaitu spesies Ikan Tempalo (cupang) rawa/ sawah.
Ikan Cupang (Betta sp.) adalah ikan air tawar yang habitat asalnya adalah beberapa negara di Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Ikan ini mempunyai bentuk dan karakter yang unik dan cenderung agresif dalam mempertahankan wilayahnya. Di kalangan penggemar, ikan cupang umumnya terbagi atas tiga golongan, yaitu cupang hias, cupang aduan, dan cupang liar. Di Indonesia terdapat cupang asli, salah satunya adalah Betta channoides yang ditemukan di Pampang, Kalimantan Timur.

Klasifikasi ilmiah

Kerajaan          :  Animalia
Filum               :  Chordata
Kelas               :  Actinopterygii
Ordo                :  Perciformes
Famili              :  Osphronemidae
Genus              :  Osphronemus
Spesies            :  Betta Sp.

Ikan cupang adalah salah satu ikan yang kuat bertahan hidup dalam waktu lama sehingga apabila ikan tersebut ditempatkan di wadah dengan volume air sedikit dan tanpa adanya alat sirkulasi udara (aerator), ikan ini masih dapat bertahan hidup. Hampir semua jenis ikan cupang hidup di air tawar, hal ini bisa ditemui oleh kita seperti; di sungai-sungai, rawa-rawa dll. Ikan cupang mempunyai bentuk badan pipih dan langsing, kepala moncong agak lancip, bibir tebal, dengan sirip-sirip, ekor serta aneka warna yang ada di tubuhnya. Cupang sawah, biasanya berwarna agak pucat, baik pejantan maupun betinanya. Sedang untuk cupang yang berasal dari Singapura, Medan, dan Bagan Siapi-api bentuk badan serta warnanya bervariasi.
Ciri-ciri ikan cupang adalah sebagai berikut; berbadan langsing dan pipih, kepala moncong lancip, ring bibir tebal, mempunyai sirip dada, berdasi, sirip perut, sirip punggung, sirip anal, ekor serta beraneka warna dari masing-masing ikan cupang, relatif dari jenis dan asalnya muasalnya.
Jenis-makanan ikan cupang adalah kutu air, jentik nyamuk, cacing sutra dll. Kutu air adalah sejenis hewan renik berkaki ruas, bentuknya menyerupai udang renik, berwarna merah sampai kecoklatan. Kutu air hidup pada suhu berkisar 22-31 °C dengan pH antara 6-7. Jentik nyamuk termasuk makanan kesukaan ikan cupang, tetapi jentik nyamuk hanya bisa dikonsumsi oleh cupang dewasa saja, sedangkan untuk anak-anak ikan cupang tidak. Ukuran jentik nyamuk lebih besar dari kutu air.
Jentik-jentik nyamuk hidup pada suhu 22-31 °C dan  hampir di semua tempat mudah ditemukan. Bentuk tubuh cacing ini menyerupai rambut dengan panjang badan antara 1-3 cm. Warna cacing sutra merah kecoklatan. Cacing sutra banyak ditemui disungai-sungai, genangan air sawah atau di selokan air. Cacing sutra mempunyai kandungan protein sekitar 57% dan 13 lemak. Cacing sutra adalah hewan hermaprodit berkembang biak melalui telur secara eksternal. Telur-teur akan dibuahi oleh pejantan akan membelah menjadi dua sebelum menetas.
Ikan cupang bisa hidup pada semua jenis air tawar. Dengan suhu air antara 22-32 °C. Ikan cupang dapat ditemui di selokan air sawah, genangan air rawa, atau di  waduk dll. Jenis ikan cupang terbagi dua:
a.         Jenis Ikan Cupang Hias
Cupang hias biasanya ditandai dengan penampilannya yang eksotik, mulai dari variasi warna, sirip punggung, sirip perut, sirip anal dan ekor. Seperti yang terlihat digambar ikan cupang hias kumpai, dan serit begitu indah baik dari penampilan sirip-siripnya maupun warna yang ada pada tubuh ikan tsb.
Gambar 3. Ikan Cupang Hias (Google Image, 2103)
b.        Jenis Ikan Cupang Petarung
Jenis Cupang adu (petarung) pada umumnya ikan ini berasal dari Singapura, (betta imbellis), atau lebih terkenal dengan sebutan Singapura belgi. Sedangkan ikan cupang petarung yang berasal dari Indonesia dari daerah Bagan Siapi-api.
Gambar 4. Ikan Cupang Petarung (Google Image, 2103)

Sifat dari ikan cupang adalah gemar berkelahi. Apabila dua ikan cupang dewasa berada dalam satu wadah, maka perkelahian antar sesamanya tak dapat terelakkan lagi. Akibat dari kegemarannya itu, tak jarang banyak ikan–ikan cupang yang terluka. Luka akibat perkelahian mengakibatkan, baik sirip dada, punggung, perut anal bahkan ekornya robek-robek berdarah bekas gigitan lawannya. Oleh karena kegemaran dari ikan cupang berkelahi, banyak para pecinta ikan cupang yang ingin memilikinya. Selain untuk dinikmati keindahannya, juga disenangi untuk adu ikan cupang. Rasa semangat dan bangga apabila ikan cupang miliknya menjadi juara di arena adu cupang.
Sedangkan untuk jenis Ikan Tempalo yang terdapat di daerah rawa Jakabaring adalah jenis Ikan Tempalo (cupang) sawah, dimana pengelompokan Ikan Tempalo (cupang) didasarkan atas ukuran tubuhnya sebagai berikut:
3
 
3
 
3
 
2
 
2
 
1
 
1
 
Gambar 5. Ikan Tempalo Hasil Pengamatan
                  (Dokumen Pribadi, 2013)
Dilihat dari ukuran tubuhnya, spesies ikan tempalo (cupang) dapat dibedakan atas:
1)         Ikan tempalo (cupang) dengan ukuran tubuh antara 1-2 cm, maka ikan tersebut dikategorikan sebagai anakan ikan tempalo (cupang)
2)         Ikan tempalo (cupang) dengan ukuran tubuh antara 2-3 sm, maka ikan tersebut dikategorikan sebagai ikan tempalo (cupang) remaja.
3)         Ikan tempalo (cupang) dengan ukuran tubuh antara 3-5 cm, maka ikan tersebut dikategorikan sebagai ikan tempalo (cupang) dewasa.
Umur maksimal ikan tempalo (cupang) yaitu antara 6-7 tahun, dengan panjang tubuh maksimal 7cm.


Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada setiap titik pengamatan, didapatkan beberapa jenis ikan tempalo (cupang) berdasarkan ukuran tubuhnya. Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 5. Hasil Pengamatan Ikan Tempalo (Cupang) Berdasarkan Ukuran Tubuhnya.
Hari/Tanggal
Titik
 Pengamtan I
Titik
Pengamtan II
Titik
Pengamtan III
Titik
Pengamtan IV
A
R
D
A
R
D
A
R
D
A
R
D
Senin,
25 Maret 2013
3
1
1
5
3
1
2
6
5
3
2
10
5
4
2
11
Selasa,
26 Maret 2013
4
2

6
4
3
1
8
7
2
2
11
2
4
4
10
Rabu,
27 Maret 2013
2
2
2
6
3
2
4
9
6
1
3
10
5
4
2
11
Kamis,
28 Maret 2013
3

1
4
4
2
1
7
4


4
5
2
2
9
Jumat,
29 Maret 2013
1
2
1
4
3
1
1
5
2
5
1
8
6
3
1
10
Sabtu,
30 Maret 2013
4

1
5
3

2
5
4
1

5
7
4
2
13
Minggu,
31 Maret 2013
3

1
4
2
2
1
5
3
1
2
6
5
2
1
8
Keterangan: *) A = Anak Ikan Tempalo, R = Ikan Tempalo Remaja, D = Ikan Tempalo Dewasa.

Grafik 5. Pengamatan Kelimpahan Ikan Tempalo (Cupang) Berdasarkan
          Ukuran Tubuhnya.














BAB V
PENUTUP


A.      Kesimpulan
Praktikum mata kuliah Ekologi Hewan yang dilaksanakan selama satu minggu, yaitu mulai tanggal 25 Maret 2013 sampai dengan tanggal 31 Maret 2013 didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1.        Pengamatan dilakukan pada empat titik pengamatan yang disesuaikan pada luas lokasi praktikum.
2.        Pengukuran suhu air didapatkan perbedaan antara titik pengamatan yang satu dengan titik pengamatan yang lain, hal ini disebabkan oleh paparan cahaya mahari yang berbeda pada setiap titik pengamatan. Suhu air pada setiap titik pengamatan antara 28-35 °C.
3.        Pengukuran suhu ruang pada empat titik pengamatan terjadi perbedaan berdasarkan waktu pengamatan, saat pagi suhu ruang relative rendah, pada saat siang suhu ruang relatif tinggi dan sore suhu ruang kembali turun. Suhu ruang rata-rata pada setiap titik pengamatan yaitu 30-36 °C.
4.        Kelimpahan ikan tempalo berdasarkan ukuran tubuhnya, yang merujuk pada usia dari ikan tempalo tersebut didapatkan data sebagai berikut:
a.       Tanggal 25 Maret 2013
1)      Untuk anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 16 ekor.
2)      Untuk ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 9 ekor.
3)      Untuk ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 7 ekor.
b.      Tanggal 26 Maret 2013
1)      Untuk anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 17 ekor.
2)      Untuk ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 11 ekor.
3)      Untuk ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 7 ekor.
c.       Tanggal 27 Maret 2013
1)      Untuk anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 16 ekor.
2)      Untuk ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 9 ekor.
3)      Untuk ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 11 ekor.
d.      Tanggal 28 Maret 2013
1)      Untuk anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 16 ekor.
2)      Untuk ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 4 ekor.
3)      Untuk ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 4 ekor.
e.       Tanggal 29 Maret 2013
1)      Untuk anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 12 ekor.
2)      Untuk ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 11 ekor.
3)      Untuk ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 4 ekor.
f.       Tanggal 30 Maret 2013
1)      Untuk anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 18 ekor.
2)      Untuk ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 5 ekor.
3)      Untuk ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 5 ekor.
g.      Tanggal 31 Maret 2013
1)      Untuk anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 13 ekor.
2)      Untuk ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 5 ekor.
3)      Untuk ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 5 ekor.
5.        Faktor-faktor yang membedakan kelimpahan ikan tempalo pada setiap titik pengamatan:
a.       Suhu air
b.      pH air
c.       Kedalaman air
d.      Kelimpahan makanan pada setiap titik pengamatan










DAFTAR PUSTAKA


Kemendiknas. 2013. Belajar Pengetahuan Alam. (online) (http://belajar.kemdiknas.
go.id/index3.php?display=view&mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Pengetah
uan%20Populer/view&id=194&uniq=1558, diakses tanggal 27 Maret 2013)

Hidayat, Saleh. 2011. Buku Ajar Limnologi. Palembang. Universitas Muhammadiyah
Palembang.

Wikipesia. 2013. Ikan Cupang. (online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Cupang, diakses
tanggal 29 Maret 2013)

____. 2013. Definisi dan Ruang lingkup Ekologi Hewan. (online).
hewan.html, diakses tanggal 29 Maret 2013)