BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ekologi berasal dari bahasa Yunani; Oikos = rumah , Logos =
ilmu. Odum (1963), Ekologi diartikan sebagai totalitas atau pola hubungan
antara makhluk dengan lingkungannya. Secara umum Ekologi sebagai salah satu
cabang ilmu biologi yang mempelajari interaksi atau hubungan pengaruh
mempengaruhi dan saling ketergantungan antara organisme dengan lingkungannya
baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan makhluk hidup
itu. Lingkungan tersebut artinya segala sesuatu yang ada di sekitar makhluk
hidup yaitu lingkungan biotik maupun abiotik.
Hal-hal yang dihadapi dalam ekologi
sebagai suatu ilmu adalah organisme, kehadirannya dan tingkat kelimpahannya di
suatu tempat serta faktor-faktor dan proses-proses penyebabnya. Dengan
demikian, definisi-definisi tersebut jika dihubungkan dengan ekologi hewan
dapat disimpulkan bahwa Ekologi Hewan
adalah suatu cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi-interaksi antara
hewan dengan lingkungan biotik dan abiotik secara langsung maupun tidak
langsung meliputi sebaran (distribusi) maupun tingkat kelimpahan hewan
tersebut.
Sasaran utama ekologi hewan adalah
pemahaman mengenai aspek-aspek dasar yang melandasi kinerja hewan-hewan sebagai
individu, populasi, komunitas dan ekosistem yang di tempatinya, meliputi
pengenalan pola proses interaksi serta faktor-faktor penting yang menyebabkan
keberhasilan maupun ketidakberhasilan organisme-organisme dan
ekosistem-ekosistem itu dalam mempertahankan keberadaannya. Berbagai faktor dan
proses ini merupakan informasi yang dapat dijadikan dasar dalam menyusun
permodelan, peramalan dan penerapannya bagi kepentingan manusia, seperti;
habitat, distribusi dan kelimpahannya, makanannya, perilaku (behavior) dan
lain-lain.
Setelah mempelajari dan memahami hal-hal
tersebut, maka pengetahuan ini dapat kita manfaatkan untuk misalnya,
memprediksi kelimpahannya dan menganalisis keadaannya serta peranannya dalam
ekosistem, menjaga kelestariannya serta kegiatan lainnya yang menyangkut
keberadaan hewan tersebut. Sebagai contoh, kita mempelajari salah satu jenis
hewan mulai dari habitatnya di alam, distribusi dan kelimpahannya, makanannya,
prilakunya, dan lain-lain. Setelah semua dipahami dengan pengamatan dan
penelitian yang cermat dan teliti, maka pengetahuan itu dapat kita manfaatkan
misalnya dalam menjaga kelestariannya di alam dengan menjaga keutuhan
lingkungan, habitat alaminya, memprediksi kelimpahan populasinya kelak,
menganalisis perannya dalam ekosistem, membudidayakannya serta kegiatan lainnya
dengan mengoptimalkan kondisi lingkungannya menyerupai habitat aslinya.
Adapun ruang lingkup ekologi hewan dapat
dibagi dalam 2 bagian, yaitu; Synekologi dan Autekologi. Synekologi adalah
materi bahasan dalam kajian atau penelitiannya ialah komunitas dengan berbagai
interaksi antar populasi yang terjadi dalam komunitas tersebut. Contohnya;
mempelajari atau meneliti tentang distribusi dan kelimpahan jenis ikan tertentu
di daerah pasang surut. Autekologi adalah kajian atau penelitian tentang
species, yaitu mengenai aspek-aspek ekologi dari individu-individu atau
populasi suatu species hewan. Contohnya adalah meneliti atau mempelajari
tentang seluk beluk kehidupan lalat buah (Drosophila
sp.), mulai dari habitat, makanan, fekunditas, reproduksi, perilaku, respond dan
lain-lain.
Menurut Ibkar-Kramadibrata (1992) dan
Sucipta (1993), secara garis besar pokok bahasan dalam ekologi hewan mencakup
hal berikut ini:
1.
Masalah
distribusi dan kelimpahan populasi hewan secara lokal dan regional, mulai
tingkat relung ekologi, mikrohabitat dan habitat, komunitas sampai biogeografi
atau penyebaran hewan di muka bumi.
2.
Masalah
pengaturan fisiologis, respon serta adaptasi struktural maupun perilaku
terhadap perubahan lingkungan.
3.
Perilaku dan
aktivitas hewan dalam habitatnya.
4.
Perubahan-perubahan
secara berkala (harian, musiman, tahunan dsb) dari kehadiran, aktivitas dan
kelimpahan populasi hewan.
5.
Dinamika
populasi dan komunitas serta pola interaksi-interaksi hewan dalam populasi dan
komunitas.
6.
Pemisahan-pemisahan
relung ekologi, spesies dan ekologi evolusioner.
7.
Masalah
produktivitas sekunder dan ekoenergetika.
8.
Ekologi sistem
dan permodelan.
Dengan demikian ruang lingkup Ekologi
Hewan meliputi obyek kajian individu/organisme, populasi, komunitas sampai
ekosistem tentang distribusi dan kelimpahan, adaptasi dan perilaku, habitat dan
relung, produktivitas sekunder, sistem dan permodelan ekologi.
B.
Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang
tersebut, agar dalam penulisan ini penulis memperoleh hasil yang diinginkan,
maka penulis mengemukakan beberapa
rumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah:
1.
Jelaskan apa
yang dimaksud dengan ekosistem rawa?
2.
Jelaskan faktor
biotik dan abiotik yang terdapat di dalam ekosistem rawa?
3.
Jelaskan
karakteristik ikan tempalo (cupang) yang ada pada ekosistem rawa?
4.
Jelaskan jumlah
kelimpahan ikan tempalo (cupang) di dalam ekosistem rawa?
C.
Tujuan Praktikum
Tujuan
dari diadakannya praktikum ini adalag sebagai berikut:
1.
Untuk memenuhi tugas Mata kuliah Ekologi Hewan.
2.
Untuk menambah pengetahuan tentang Ekosistem Rawa.
3.
Untuk mengetahui Kelimpahan spesies ikan tempalo
(cupang) didalam ekosistem rawa.
4.
Agar dapat menjadi referensi bagi pembaca.
BAB II
LANDASAN TEORI
Ekosistem Rawa
Rawa
dalam bahasa inggris disebut Wetland
atau lahan basah, yaitu adanya air di dekat, atau di sepanjang permukaan lahan
yang mampu mendukung tumbuhan air atau vegetasi hidrofit nuntuk hidup natau
lahan yang mengindikasikan kondisi basah. Agen Perlindungan Lingkungan/Environmental Protection Agency (EPA)
tahun 1987 bersama dengan Corps Engineers
Wetlands Delineation Manual menyatakan rawa: “Lahan yang dibanjiri atau
yang dipenuhi oleh air tanah dalam jangka waktu lama, dan dalam keadaan normal
sungguh mendukung keberadaan tumbuhan yang umumnya hidup di lahan basah”.
Terlepas dari karakteristik lahan basah yang penting ini, fungsinya sangat
bervariasi. Bagian ini akan menguraikan fungsi dasar lahan basah. Fungsi lahan
basah tergantung pada banyaknya variabel (termasuk tipenya, ukuran, dan
pengaruh fisik/alami dari manusia) dan peluang ( termasuk lokasi rawa di
daratan dan di sekitar lahan yang dimanfaatkan). Lahan basah merupakan
ekosistem yang sangat dinamis.
Kata
lebak diambil dari kosakata bahasa Jawa yang berarti lembah atau tanah rendah.
Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang
tahun, minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa
lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian,
termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa lebak yang
sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton,
sedangkan jika kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar
disebut rawa pedalaman (Noor, M. 2007).
Rawa
lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa
cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai
(levee) atau antara dataran tinggi
dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian
tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi
sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Pada musim hujan genangan air
dapat mencapai tinggi antara 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam
keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka
air tanah di lahan rawa lebak dangkal dapat mencapai > 1 meter sehingga
lebih menyerupai lahan kering (upland).
Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara
2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang
mempunyai curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan
kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm). Bulan basah
jatuh pada bulan Oktober/November sampai Maret/April, sedangkan bulan kering
jatuh antara bulan Juli sampai September (Noor, M. 2007). Rawa lebak dibedakan
dengan rawa pasang surut karena mempunyai bentuk fisiografi (landform), penyebaran, dan sifat serta
watak yang berbeda. Mempunyai topografi berupa cekungan dan merupakan dataran
banjir dengan masa genangan lebih panjang. Dalam konteks yang lebih luas, lahan
rawa lebak juga sering dikelompokkan sebagai Wetland, Lowland, Peatland, Inland, Deepwater Land.
Pembagian Lahan Rawa
Lahan
rawa lebak mempunyai ciri yang sangat khas, pada musim hujan terjadi genangan
air yang melimpah dalam variasi kurun waktu yang cukup lama. Genangan air dapat
kurang dari satu bulan sampai enam bulan atau lebih, dengan ketinggian genangan
50 cm–100 cm. Air yang menggenang tersebut bukan merupakan limpasan air pasang,
tetapi berasal dari limpasan air permukaan yang terakumulasi di wilayah
tersebut karena topografinya yang lebih rendah dan drainasinya jelek. Kondisi
genangan air sangat dipengaruhi oleh curah hujan, baik di daerah tersebut
maupun wilayah sekitarnya serta daerah hulu (Ismail et al., 1993: dalam Noor,
M. 2007).
1.
Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi
menjadi dua tipologi, yaitu:
a. Rawa lebak
dataran tinggi, banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa
b. Rawa lebak
dataran rendah, sebagian besar tersebar di Kalimantan.
2.
Berdasarkan ketinggian dan lamanya genangan, lahan
rawa lebak dapat dibagi dalam tiga tipologi, yaitu:
a. Lebak dangkal
adalah wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25-50 cm dengan lama genangan
minimal 3 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi nisbi lebih
tinggi dan merupakan wilayah paling dekat dengan tanggul.
b. Lebak tengahan
ialah wilayah yang mempunyai tinggi genangan 50-100 cm dengan lama genangan
minimal 3-6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi lebih
rendah daripada lebak dangkal dan merupakan.
c. Lebak dalam
ialah wilayah yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm dengan lama genangan
minimal > 6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai hidrotopografi
Sifat-sifat fisik tanah di lahan rawa
Secara
teoritis, setiap banjir, karena arus banjir masih kuat, tanggul sungai merupakan
tempat pengendapan bahan-bahan terkasar (pasir halus sampai pasir sedang).
Makin jauh dari sungai, dengan semakin lemahnya daya angkut air, terjadi
pengendapan bahan-bahan lebih halus, yaitu debu dan liat. Karena adanya sortasi
air dan semakin sedikitnya bahan-bahan yang diendapkan semakin jauh dari
sungai, maka tanggul sungai adalah tempat yang paling tinggi letaknya, dan
tanah berangsur-angsur menurun ke dataran rawa belakang. Dalam kenyataanya di
lapangan, acapkali perbedaan ketinggian antara keduanya tidak selalu nyata,
walaupun hasil pengukuran ketinggian antara keduanya memang menunjukkan
penurunan yang amat berangsur ke arah dataran rawa belakang. Demikian pula,
tekstur tanah di wilayah tanggul sungai tidak selalu berpasir, sebab komposisi
fraksi dari lumpur yang diendapkan setiap tahun tidak selalu kasar sifatnya
(Subagyo, 2006).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A.
Waktu dan Tempat
Praktikum
dilaksanakan selama satu minggu yaitu pada tanggal 25 Maret 2013 sampai dengan
31 Maret 2013, yang berlokasi di kawasan Jakabaring. Alasan kenapa dipilihnya
kawasan Jakabaring, karena kawasan Jakabaring sebagian besar merupakan daerah
rawa dan masih banyak yang belum tersentuh pembangunan atau dengan kata lain
masih asri.
Gambar 1. Peta
Lokasi Praktikum Ekologi Hewan (Google
Earth, 2013)
Pengamatan
dilakukan terhadap empat titik pengamatan, setiap titik pengamatan disesuaikan
pada luas lokasi praktikum.
|
|
|
|
Gambar 2. Titik
Pengamatan pada Praktikum Ekologi Hewan (Dokumen
pribadi, 2013)
B. Alat dan Bahan
Praktikum Ekologi Hewan ini
menggunakan alat dan bahan sebagai berikut:
No
|
Nama Alat dan Bahan
|
Gambar
|
|
Jaring ikan
|
|
|
Pisau
|
|
|
Penggaris
|
|
|
Termometer
|
|
|
Kertas Lakmus
|
|
|
Spidol
|
|
|
Kertas Karton Putih
|
|
|
Lakban
|
|
C.
Prosedur Praktikum
Praktikum ekologi hewan dilaksanakan
dengan mangacu pada prosedur-prosedur seperti yang dijalskan di bawah ini:
1.
Tahap persiapan
Pada tahap ini dilakukan persiapan
terlebih dahulu sebelum akan dilakukan praktikum ekologi hewan, dimana alat dan
bahan yang diperlukan dalam praktikum ini dikumpulkan. Setelah itu tahap
pencarian lokasi yang akan digunakan sebagai lokasi praktikum.
2.
Tahap
pelaksanaan
Setelah pada tahap persiapan telah
ditentukan lokasi praktikum, maka pada tahap ini akan dilaksanakan kegiatan
praktikum tersebut. Penentuan titik pengamatan disesuaikan pada luas lokasi,
tiap titik pengamatan diberi tanda agar dalam pengamatan dapat lebih teratur.
Pengamatan dilakukan pada empat titik pengamatan, dimana sampel diambil dengan
cara jaring ikan tersebut didorong perlahan secara horizontal. Sampel yang
didapat, diambil dokumentasinya dan dicek ukurannya. Suhu lokasi dicek dengan
menggunakan termometer, sedangkan pH air dicek dengan kertas lakmus. Praktikum
dilaksanakan selama satu minggu, rantang waktu pengamatan yaitu pagi, siang,
sore setiap hari selama satu minggu.
3.
Tahap pembahasan
Semua data yang didapat, diolah dan
dilaporkan dalam bentuk laporan praktikum.
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A.
Hasil Pengamatan
Dari pengamatan yang telah dilakukan
selama satu minggu yaitu mulai tanggal 25 Maret 2013 sampai dengan 31 Maret
2013, didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 1. Suhu
air di daerah rawa Jakabaring (°C)
Hari/Tanggal
|
Titik
Pengamtan I
|
Titik
Pengamtan II
|
Titik
Pengamtan III
|
Titik
Pengamtan IV
|
||||||||||||
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
|
Senin,
25 Maret 2013
|
29
|
32
|
32
|
31
|
29
|
34
|
33
|
32
|
30
|
34
|
32
|
32
|
29
|
34
|
33
|
32
|
Selasa,
26 Maret 2013
|
28
|
30
|
33
|
31
|
29
|
33
|
33
|
31
|
29
|
33
|
32
|
31
|
30
|
35
|
32
|
32
|
Rabu,
27 Maret 2013
|
29
|
34
|
33
|
32
|
28
|
35
|
32
|
31
|
30
|
34
|
31
|
31
|
29
|
34
|
32
|
31
|
Kamis,
28 Maret 2013
|
29
|
35
|
32
|
32
|
29
|
34
|
31
|
31
|
29
|
35
|
31
|
31
|
29
|
34
|
31
|
31
|
Jumat,
29 Maret 2013
|
29
|
31
|
30
|
30
|
29
|
34
|
30
|
31
|
29
|
33
|
31
|
31
|
30
|
35
|
32
|
32
|
Sabtu,
30 Maret 2013
|
28
|
32
|
31
|
30
|
29
|
33
|
32
|
31
|
29
|
35
|
33
|
32
|
29
|
35
|
33
|
32
|
Minggu,
31 Maret 2013
|
29
|
35
|
30
|
31
|
29
|
32
|
30
|
30
|
29
|
34
|
32
|
31
|
29
|
35
|
32
|
32
|
Keterangan: *) Pg = Pagi, Si = Siang, Sr = Sore
Grafik
1. Pengamatan Suhu Air pada Setiap Titik Pengamatan
Pembahasan Tabel 1:
Data
pada Tabel 1. Menunjukkan adanya perbedaan suhu air antara titik pengamatan I,
II, III, dan IV. Hal ini disebabkan oleh intensitas cahaya matahari terhadap
lokasi pada setiap titik pengamtan, selain dari itu kedalaman dari lokasi pada
setiap titik juga mempengaruhi suhu air. Jika pada lokasi tersebut sedikit
dalam maka suhu airnya akan lebih rendah dari lokasi yang tidak terlalu dalam.
Tabel 2. Suhu ruang di daerah rawa Jakabaring (°C)
Hari/Tanggal
|
Titik
Pengamtan I
|
Titik
Pengamtan II
|
Titik
Pengamtan III
|
Titik
Pengamtan IV
|
||||||||||||
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
|
Senin,
25 Maret 2013
|
29
|
33
|
33
|
31
|
30
|
35
|
34
|
33
|
31
|
35
|
33
|
32
|
30
|
35
|
34
|
32
|
Selasa,
26 Maret 2013
|
29
|
31
|
34
|
31
|
30
|
33
|
34
|
32
|
30
|
34
|
33
|
32
|
31
|
36
|
33
|
32
|
Rabu,
27 Maret 2013
|
30
|
35
|
34
|
33
|
29
|
36
|
33
|
32
|
31
|
35
|
32
|
32
|
30
|
35
|
33
|
32
|
Kamis,
28 Maret 2013
|
30
|
36
|
33
|
33
|
30
|
35
|
32
|
32
|
30
|
36
|
32
|
32
|
30
|
35
|
32
|
32
|
Jumat,
29 Maret 2013
|
30
|
32
|
31
|
31
|
30
|
35
|
31
|
32
|
30
|
34
|
32
|
32
|
31
|
36
|
33
|
32
|
Sabtu,
30 Maret 2013
|
29
|
33
|
32
|
31
|
30
|
34
|
33
|
32
|
30
|
36
|
34
|
32
|
30
|
36
|
34
|
33
|
Minggu,
31 Maret 2013
|
30
|
36
|
31
|
32
|
30
|
33
|
31
|
31
|
30
|
35
|
33
|
31
|
30
|
36
|
33
|
32
|
Keterangan: *) Pg = Pagi, Si = Siang, Sr = Sore
Grafik
2. Pengamatan Suhu Ruang pada Setiap Titik Pengamatan
Pembahasan Tabel
2:
Dari
tabel 2. Menunjukkan adanya perbedaan antara titik pengamatan satu dengan yang
lain, suhu ruang akan berbeda jika intensitas cahaya matahari pada lokasi
tersebut berbeda. Pada titik pengamatan I dan II intensitas cahaya matahari
sedikit kurang, hal ini disebabkan oleh banyak terdapat tumbuhan-tumbuhan yang
menghalangi cahaya manembus permukaan air.
Tabel 3. pH Air di daerah rawa Jakabaring
Hari/Tanggal
|
Titik
Pengamtan I
|
Titik
Pengamtan II
|
Titik
Pengamtan III
|
Titik
Pengamtan IV
|
||||||||||||
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
|
Senin,
25 Maret 2013
|
5
|
5
|
5
|
5
|
6
|
6
|
6
|
6
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
Selasa,
26 Maret 2013
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
Rabu,
27 Maret 2013
|
5
|
5
|
5
|
5
|
6
|
6
|
6
|
6
|
5
|
5
|
5
|
5
|
6
|
6
|
6
|
6
|
Kamis,
28 Maret 2013
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
Jumat,
29 Maret 2013
|
5
|
5
|
5
|
5
|
6
|
6
|
6
|
6
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
Sabtu,
30 Maret 2013
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
Minggu,
31 Maret 2013
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
Keterangan: *) Pg = Pagi, Si = Siang, Sr = Sore
Grafik
3. Pengamatan pH Air pada Setiap Titik Pengamatan
Pembahasan Tabel
3:
Pada
tabel 3. Terlihat perbedaan pH pada setiap titik pengamatan, perbedaan ini
dikarenakan faktor perbedaan kedalaman titik pengamatan satu dengan titik
pengamatan lainnya. Perbedaan pH juga berdampak pada kelimpahan organism pada
setiap titik pengamatan.
Pada
praktikum ini mengkhususkan pengamatan terhadap kelimpahan Ikan Tempalo
(cupang) yang terdapat di daerah rawa Jakabaring, dimana didapat data sebagai
berikut:
Tabel 4. Kelimpahan Ikan Tempalo (Cupang) di daerah
rawa Jakabaring
Hari/Tanggal
|
Titik
Pengamtan I
|
Titik
Pengamtan II
|
Titik
Pengamtan III
|
Titik
Pengamtan IV
|
||||||||||||
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
Pg
|
Si
|
Sr
|
R
|
|
Senin,
25 Maret 2013
|
1
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
3
|
4
|
3
|
3
|
3
|
5
|
3
|
4
|
Selasa,
26 Maret 2013
|
1
|
3
|
2
|
2
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
4
|
4
|
4
|
5
|
2
|
3
|
3
|
Rabu,
27 Maret 2013
|
1
|
3
|
2
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
3
|
4
|
3
|
3
|
3
|
4
|
4
|
4
|
Kamis,
28 Maret 2013
|
1
|
1
|
2
|
1
|
2
|
4
|
3
|
3
|
2
|
1
|
1
|
1
|
2
|
4
|
3
|
3
|
Jumat,
29 Maret 2013
|
1
|
1
|
2
|
1
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
4
|
2
|
3
|
3
|
4
|
3
|
3
|
Sabtu,
30 Maret 2013
|
2
|
1
|
2
|
2
|
2
|
1
|
1
|
1
|
2
|
2
|
1
|
2
|
4
|
4
|
5
|
4
|
Minggu,
31 Maret 2013
|
1
|
1
|
2
|
1
|
2
|
2
|
1
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
3
|
2
|
3
|
3
|
Keterangan: *) Pg = Pagi, Si = Siang, Sr = Sore
Grafik
4. Pengamatan Kelimpahan Ikan Tempalo (Cupang)
B.
Pembahasan
Pada pengamatan yang dilakukan
di daerah rawa Jakabaring, dimana mengkhususkan pengamtan terhadap kelimpahan
Ikan Tempalo (Cupang). Setelah dilakukan pengamtan selama satu minggu, dimana
pengamatan dilakukan pada empat titik pemgamatan setiap pagi, siang, dan sore
setiap hari didapatkan spesies Ikan Tempalo yang banyak terdapat yaitu spesies
Ikan Tempalo (cupang) rawa/ sawah.
Ikan
Cupang (Betta sp.) adalah ikan
air tawar yang habitat asalnya adalah beberapa negara di Asia Tenggara, antara
lain Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Ikan ini mempunyai bentuk dan
karakter yang unik dan cenderung agresif dalam mempertahankan wilayahnya. Di
kalangan penggemar, ikan cupang umumnya terbagi atas tiga golongan, yaitu
cupang hias, cupang aduan, dan cupang liar. Di Indonesia terdapat cupang asli,
salah satunya adalah Betta channoides
yang ditemukan di Pampang, Kalimantan Timur.
|
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan :
Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Osphronemidae
Genus : Osphronemus
Spesies :
Betta Sp.
|
Ikan
cupang adalah salah satu ikan yang kuat bertahan hidup dalam waktu lama
sehingga apabila ikan tersebut ditempatkan di wadah dengan volume air sedikit
dan tanpa adanya alat sirkulasi udara (aerator), ikan ini masih dapat bertahan
hidup. Hampir semua jenis ikan cupang hidup di air tawar, hal ini bisa ditemui
oleh kita seperti; di sungai-sungai, rawa-rawa dll. Ikan cupang mempunyai
bentuk badan pipih dan langsing, kepala moncong agak lancip, bibir tebal,
dengan sirip-sirip, ekor serta aneka warna yang ada di tubuhnya. Cupang sawah,
biasanya berwarna agak pucat, baik pejantan maupun betinanya. Sedang untuk cupang
yang berasal dari Singapura, Medan, dan Bagan Siapi-api bentuk badan serta
warnanya bervariasi.
Ciri-ciri
ikan cupang adalah sebagai berikut; berbadan langsing dan pipih, kepala moncong
lancip, ring bibir tebal, mempunyai sirip dada, berdasi, sirip perut, sirip
punggung, sirip anal, ekor serta beraneka warna dari masing-masing ikan cupang,
relatif dari jenis dan asalnya muasalnya.
Jenis-makanan
ikan cupang adalah kutu air, jentik nyamuk, cacing sutra dll. Kutu air adalah
sejenis hewan renik berkaki ruas, bentuknya menyerupai udang renik, berwarna
merah sampai kecoklatan. Kutu air hidup pada suhu berkisar 22-31 °C dengan pH
antara 6-7. Jentik nyamuk termasuk makanan kesukaan ikan cupang, tetapi jentik
nyamuk hanya bisa dikonsumsi oleh cupang dewasa saja, sedangkan untuk anak-anak
ikan cupang tidak. Ukuran jentik nyamuk lebih besar dari kutu air.
Jentik-jentik
nyamuk hidup pada suhu 22-31 °C dan
hampir di semua tempat mudah ditemukan. Bentuk tubuh cacing ini
menyerupai rambut dengan panjang badan antara 1-3 cm. Warna cacing sutra merah
kecoklatan. Cacing sutra banyak ditemui disungai-sungai, genangan air sawah
atau di selokan air. Cacing sutra mempunyai kandungan protein sekitar 57% dan
13 lemak. Cacing sutra adalah hewan hermaprodit berkembang biak melalui telur
secara eksternal. Telur-teur akan dibuahi oleh pejantan akan membelah menjadi
dua sebelum menetas.
Ikan
cupang bisa hidup pada semua jenis air tawar. Dengan suhu air antara 22-32 °C.
Ikan cupang dapat ditemui di selokan air sawah, genangan air rawa, atau di waduk dll. Jenis ikan cupang terbagi dua:
a.
Jenis Ikan Cupang Hias
Cupang
hias biasanya ditandai dengan penampilannya yang eksotik, mulai dari variasi
warna, sirip punggung, sirip perut, sirip anal dan ekor. Seperti yang terlihat
digambar ikan cupang hias kumpai, dan serit begitu indah baik dari penampilan
sirip-siripnya maupun warna yang ada pada tubuh ikan tsb.
Gambar
3.
Ikan Cupang Hias (Google Image, 2103)
b.
Jenis Ikan Cupang Petarung
Jenis
Cupang adu (petarung) pada umumnya ikan ini berasal dari Singapura, (betta
imbellis), atau lebih terkenal dengan sebutan Singapura belgi. Sedangkan ikan
cupang petarung yang berasal dari Indonesia dari daerah Bagan Siapi-api.
Gambar
4.
Ikan Cupang Petarung (Google Image, 2103)
Sifat
dari ikan cupang adalah gemar berkelahi. Apabila dua ikan cupang dewasa berada
dalam satu wadah, maka perkelahian antar sesamanya tak dapat terelakkan lagi.
Akibat dari kegemarannya itu, tak jarang banyak ikan–ikan cupang yang terluka.
Luka akibat perkelahian mengakibatkan, baik sirip dada, punggung, perut anal
bahkan ekornya robek-robek berdarah bekas gigitan lawannya. Oleh karena
kegemaran dari ikan cupang berkelahi, banyak para pecinta ikan cupang yang
ingin memilikinya. Selain untuk dinikmati keindahannya, juga disenangi untuk adu
ikan cupang. Rasa semangat dan bangga apabila ikan cupang miliknya menjadi
juara di arena adu cupang.
Sedangkan untuk jenis Ikan
Tempalo yang terdapat di daerah rawa Jakabaring adalah jenis Ikan Tempalo
(cupang) sawah, dimana pengelompokan Ikan Tempalo (cupang) didasarkan atas
ukuran tubuhnya sebagai berikut:
Gambar 5. Ikan Tempalo Hasil Pengamatan
(Dokumen Pribadi, 2013)
|
Dilihat dari ukuran tubuhnya, spesies ikan tempalo
(cupang) dapat dibedakan atas:
1)
Ikan tempalo (cupang) dengan ukuran tubuh antara 1-2 cm, maka ikan
tersebut dikategorikan sebagai anakan ikan tempalo (cupang)
2)
Ikan tempalo (cupang) dengan ukuran tubuh antara 2-3 sm, maka ikan
tersebut dikategorikan sebagai ikan tempalo (cupang) remaja.
3)
Ikan tempalo (cupang) dengan ukuran tubuh antara 3-5 cm, maka ikan
tersebut dikategorikan sebagai ikan tempalo (cupang) dewasa.
Umur maksimal ikan tempalo (cupang) yaitu antara 6-7
tahun, dengan panjang tubuh maksimal 7cm.
|
Dari hasil pengamatan yang
dilakukan pada setiap titik pengamatan, didapatkan beberapa jenis ikan tempalo
(cupang) berdasarkan ukuran tubuhnya. Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel
5. Hasil Pengamatan Ikan Tempalo (Cupang) Berdasarkan Ukuran Tubuhnya.
Hari/Tanggal
|
Titik
Pengamtan I
|
Titik
Pengamtan II
|
Titik
Pengamtan III
|
Titik
Pengamtan IV
|
||||||||||||
A
|
R
|
D
|
∑
|
A
|
R
|
D
|
∑
|
A
|
R
|
D
|
∑
|
A
|
R
|
D
|
∑
|
|
Senin,
25 Maret 2013
|
3
|
1
|
1
|
5
|
3
|
1
|
2
|
6
|
5
|
3
|
2
|
10
|
5
|
4
|
2
|
11
|
Selasa,
26 Maret 2013
|
4
|
2
|
|
6
|
4
|
3
|
1
|
8
|
7
|
2
|
2
|
11
|
2
|
4
|
4
|
10
|
Rabu,
27 Maret 2013
|
2
|
2
|
2
|
6
|
3
|
2
|
4
|
9
|
6
|
1
|
3
|
10
|
5
|
4
|
2
|
11
|
Kamis,
28 Maret 2013
|
3
|
|
1
|
4
|
4
|
2
|
1
|
7
|
4
|
|
|
4
|
5
|
2
|
2
|
9
|
Jumat,
29 Maret 2013
|
1
|
2
|
1
|
4
|
3
|
1
|
1
|
5
|
2
|
5
|
1
|
8
|
6
|
3
|
1
|
10
|
Sabtu,
30 Maret 2013
|
4
|
|
1
|
5
|
3
|
|
2
|
5
|
4
|
1
|
|
5
|
7
|
4
|
2
|
13
|
Minggu,
31 Maret 2013
|
3
|
|
1
|
4
|
2
|
2
|
1
|
5
|
3
|
1
|
2
|
6
|
5
|
2
|
1
|
8
|
Keterangan: *) A = Anak Ikan Tempalo, R = Ikan Tempalo
Remaja, D = Ikan Tempalo Dewasa.
Grafik 5.
Pengamatan Kelimpahan Ikan Tempalo (Cupang) Berdasarkan
Ukuran Tubuhnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Praktikum mata kuliah
Ekologi Hewan yang dilaksanakan selama satu minggu, yaitu mulai tanggal 25
Maret 2013 sampai dengan tanggal 31 Maret 2013 didapatkan kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Pengamatan
dilakukan pada empat titik pengamatan yang disesuaikan pada luas lokasi
praktikum.
2.
Pengukuran
suhu air didapatkan perbedaan antara titik pengamatan yang satu dengan titik
pengamatan yang lain, hal ini disebabkan oleh paparan cahaya mahari yang
berbeda pada setiap titik pengamatan. Suhu air pada setiap titik pengamatan
antara 28-35 °C.
3.
Pengukuran
suhu ruang pada empat titik pengamatan terjadi perbedaan berdasarkan waktu pengamatan,
saat pagi suhu ruang relative rendah, pada saat siang suhu ruang relatif tinggi
dan sore suhu ruang kembali turun. Suhu ruang rata-rata pada setiap titik
pengamatan yaitu 30-36 °C.
4.
Kelimpahan
ikan tempalo berdasarkan ukuran tubuhnya, yang merujuk pada usia dari ikan
tempalo tersebut didapatkan data sebagai berikut:
a.
Tanggal
25 Maret 2013
1)
Untuk
anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 16 ekor.
2)
Untuk
ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 9 ekor.
3)
Untuk
ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 7 ekor.
b.
Tanggal
26 Maret 2013
1)
Untuk
anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 17 ekor.
2)
Untuk
ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 11 ekor.
3)
Untuk
ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 7 ekor.
c.
Tanggal
27 Maret 2013
1)
Untuk
anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 16 ekor.
2)
Untuk
ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 9 ekor.
3)
Untuk
ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 11 ekor.
d.
Tanggal
28 Maret 2013
1)
Untuk
anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 16 ekor.
2)
Untuk
ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 4 ekor.
3)
Untuk
ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 4 ekor.
e.
Tanggal
29 Maret 2013
1)
Untuk
anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 12 ekor.
2)
Untuk
ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 11 ekor.
3)
Untuk
ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 4 ekor.
f.
Tanggal
30 Maret 2013
1)
Untuk
anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 18 ekor.
2)
Untuk
ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 5 ekor.
3)
Untuk
ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 5 ekor.
g.
Tanggal
31 Maret 2013
1)
Untuk
anak ikan tempalo (1-2cm) sebanyak 13 ekor.
2)
Untuk
ikan tempalo remaja (2-3cm) sebanyak 5 ekor.
3)
Untuk
ikan tempalo dewasa (3-5cm) sebanyak 5 ekor.
5.
Faktor-faktor
yang membedakan kelimpahan ikan tempalo pada setiap titik pengamatan:
a.
Suhu
air
b.
pH
air
c.
Kedalaman
air
d.
Kelimpahan
makanan pada setiap titik pengamatan
DAFTAR PUSTAKA
Kemendiknas. 2013. Belajar Pengetahuan Alam. (online) (http://belajar.kemdiknas.
go.id/index3.php?display=view&mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Pengetah
uan%20Populer/view&id=194&uniq=1558, diakses
tanggal 27 Maret 2013)
Hidayat, Saleh. 2011. Buku Ajar Limnologi. Palembang. Universitas Muhammadiyah
Palembang.
tanggal 29 Maret 2013)
____. 2013. Definisi
dan Ruang lingkup Ekologi Hewan. (online).
hewan.html, diakses tanggal 29 Maret 2013)